Masalah Niat Puasa (Bag 1) : Ramadhana Atau Ramadhani
Marhaban yaa Ramadhan.
Ramadahan datang lagi. Semua yang terkait Ramadhan terasa indah. Tarawih dinanti nanti. Teriakan bilal memandu tarawih menjadi kenangan tersendiri. Termasuk membaca niat puasa bersama sama. Dibaca bareng bareng setelah tarawih :
nawaitu shauma ghadin 'an adaa'i fardi syahri ramadhana hadzihis sanati lillahi ta'ala' .
Semua membacanya dengan kompak dan bersemangat, bahkan anak anak kecil juga ikut membacanya.
Namun, bersamaan dengan itu, datang pula persoalan yang selalu ditanyakan setiap tahun. Persoalan persoalan terkait niat Ramadhan. Apakah niat mesti dibaca bareng seperti itu atau tidak. Terus lafadz Ramadhan dibacanya Ramadhana atau Ramadhani.
Sebagian masyarakat mencoba mereka reka sendiri jawabannya. Termasuk para santri yang baru belajar bahasa Arab. Ada yang bilang, dua duanya benar. Ramadhana untuk rame rame, kalo ramadhani untuk sendirian.....
Yang lain lagi bilang, ramadhana paling benar karena sesuai dengan ayat Al Qur'an : Syahru ramadhana al ladzi unzila fihil qur'an.....
Ada lagi yang bilang, ramadhani bila dibaca tiap malam. Kalo dibacanya diawal bulan, harus ramadhana .
Dalam beberapa majlis pengajian, ketika saya mendapat kesempatan untuk menjelaskan masalah ini, saya selalu sampaikan bahwa yang benar adalah ramadhani. Penjelasan saya tidak selalu diterima. Saya pernah dibilang sok tahu oleh seorang takmir masjid. Tidak apa apa. Yang penting pegangan saya kuat.
Alasan yang saya pegangi tentu bukan seperti jawaban jawaban diatas. Itu jawaban ngarang. Jauh dari kebenaran.
Berikut ini saya akan tuliskan kembali, apa apa yang pernah saya sampaikan dibeberapa majlis. Saya akan berusaha menjelaskannya semudah mungkin. Tentu saja bahasa tulisan tidak semudah bahasa lisan.
Jadi Yang Benar Ramadhana atau Ramadhani
Langsung saja saya jawab dengan tegas, yang benar adalah RAMADHANI. Lengkapnya begini :
nawaitu shauma ghadin 'an adaa'i fardi syahri ramadhani hadzihis sanati lillahi ta'ala' .
Apa alasannya..?
Alasannya, karena lafadz Ramadhan itu adalah Isim Ghairu Munsharif. Dan Isim Ghairu Munsharif mesti di-jarkan dengan kasroh apabila dibelakangnya terdapat mudhof ilaih. Mudhof ilaihnya adalah hadzihis sanati. Seandainya niat puasanya itu berhenti sampai lafadz Ramadhana tanpa ada tambahan hadzihis sanati, maka bacaan yang benar adalah Ramadhana. Tetapi bila bacaan niatnya dilanjutkan sampai hadzihis sanati, maka mesti dibaca Ramadhani.
Jadi permasalahan ini kembali kepada persoalan tata bahasa Arab. Tapi jangan diremehkan. Karena beda harokat bisa menyebabkan beda arti.
Penjelasan ini akan sangat mudah difahami oleh santri yang sudah belajar Ilmu Nahwu sampai tingkat Imrithy minimal. Untuk yang belum mengerti Ilmu Nahwu, maka saya tawarkan solusi yang lebih mudah. Yaitu ikuti saja penjelasan ulama yang akan saya kutip berikut ini :
Penjelasan Dari Kitab I'anatut Thalibin
Diantara ulama yang memberi penjelasan paling jelas mengenai masalah ini adalah Sayyid Bakri bin Syatho' ad Dimyathi dalam kitab I'anatut Thalibin. Pendapat beliau ini bisa anda pegangi, anda simpan dan anda tunjukkan kepada orang lain.
Sayyid Bakri memberi penjelasan sebagai berikut :
Penjelasan yang saya maksud terdapat pada bagian bergaris bawah. Agak kurang jelas. Karena itu saya akan tulis kembali bagian itu, lengkap dengan harokatnya :
ِباِلْجَـــــرِّ لإِضَافَـتِهِ لِمَا بَعْدَهُ) أَيْ يُقْرَأُ رَمَضَانُ باِلْـجَرِّ باِلْكَسْرَةِ لِكَوْنِهِ مُضَافاً إلىَ مَا بَعْدَهُ وَهُوَ اسْمُ اْلإِشَارَة) .
(Dibaca Jar, karena lafadz Ramadhan di idhafahkan kepada lafadz sesudahnya). Maksudnya, Ramadhan dibaca jar, dengan kasroh karena ia diidhafahkan kepada kata sesudahnya yaitu isim isyarah
Dalam petikan tersebut dijelaskan, bahwa Ramadhan dibaca Jar dengan Kasroh (Ramadhani). Maksudnya i'rabnya jar, dan tanda jarnya adalah kasroh. Penyebabnya adalah karena ramadhan disandarkan kepada isim isyaroh. Yang dimaksud isim isyarah adalah kata tunjuk هذه
Pada penjelasan selanjutnya, pengarang kitab membuka kemungkinan memutus kata Ramadhan dari rangkaian bersama Hadzihis-Sanah, dengan menjadikan hadzihissanah sebagai dzorof, bukan lagi sebagai mudhof ilaih. Maka bacaan niatnya jadi begini :
nawaitu shauma ghadin 'an adaa'i fardi syahri ramadhana hadzihis sanata lillahi ta'ala' .
Perhatikan kata ramadhana dan kata hadzihis sanata .
Menurut ilmu tata bahasa Arab, hal ini boleh dan benar. Ramadhana isim ghairu munshorif, yang dibelakangnya tidak memiliki mudhof ilaih, karena kata hadzihis sanah telah dirubah kedudukannya menjadi dzorof. Dan dzorof harus dibaca nashob (fathah) hadzihis-sanata.
Hanya saja, dari segi makna menjadi tidak ta'yin. Tidak akurat. Artinya menjadi seperti ini :
pada tahun ini, saya niat berpuasa besok untuk memunaikan Ramadhan.
Tidak jelas, dia mau melaksanakan puasa Ramadhan yang mana. Apakah qadha' puasa atau apa.
Teks dari kitabnya begini, saya tulis ulang :
ًقَالَ فِي التُّحْفَةِ : وَاحْتِيْجَ لِأِضَافَةِ رَمَضَانَ لِمَا بَعْدَهُ لِأَنَّ قَطْعَهُ عَنْهَا يُصَيـِّرُ هَذِهِ السَّنَةَ مُحْتَمَلاً لِكَوْنِهِ ظَرْفا
لِنَوَيْتُ فلَا َيَبْقَى لَهُ مَعْنىً فَـتَأَمَّلْهُ فَإِنَّهُ مِـمَّـا يَـخْفَى .
Ia berkata dalam kitab tuhfah : Dan diperlukan idhofahnya ramadhan kepada kata sesudahnya, karena memutusnya dari idhofah akan menjadikan kata hadzihis sanah memiliki kemungkinan untuk menjadi dzorf (keterangan waktu ) bagi kata nawaytu. Maka niat tersebut jadi tidak ada maknanya. Fikirkan ini baik baik, karena ini adalah termasuk masalah yang tersembunyi.
Screenshot Dari Kitab Minhaj
Kitab Minhajut Thalibin, adalah salah satu kitab bermadzhab Syafi'i kelas berat. Ia adalah tulisan Imam Nawawi. Kitab ini dikaji dengan sangat serius oleh para ulama. Matannya diberi harokat dengan sangat hati hati, tidak bisa sembarangan. Para penerbit dan para editor senantiasa berhati hati dalam akurasi pemberian harokat. Karena kitab ini memperoleh perhatian besar dari para calon ulama. Mereka berlomba lomba menghafalkannya.
Kita lihat gambar halaman kitab al Minhaj terbitan Daarul Minhaj diatas. Niat puasa dibaca Ramadhani, tidak yang lain.
Ada satu nash yang juga terlihat dalam gambar tersebut, bahwa niat puasa fardhu, wajib ta'yin.
Ta'yin dalam Berniat
Setiap ibadah membutuhkan niat. Dan niat itu harus ta'yin. Ta'yin itu akurat, dalam menggambarkan ibadah seperti apa yang akan kita lakukan. Agar dapat dibedakan dengan ibadah lain. Bila kamu berkata, tahun ini saya puasa, maka ini tidak ta'yin. Karena tidak jelas, mau puasa apa. Sunnah atau wajib.
Contoh niat yang ta'yin itu seperti ini :
saya niat puasa besok hari, untuk menunaikan fardhu bulan Ramadhannya tahun ini
Niat ini sudah akurat menggambarkan apa yang akan kita kerjakan besok. yaitu puasa Ramadhannya tahun ini. Bukan puasa yang lain, bukan juga puasa Ramadhannya tahun lalu.
Contoh niat yang tidak ta'yin adalah seperti ini :
Saya niat puasa besok (tidak jelas mau puasa apa. Ungkapan seperti ini boleh diucapkan dalam puasa sunnah).
Jauh jauh hari ulama kita sudah menggaris bawahi pentingnya ta'yin (akurasi) dalam berniat. Kesalahan bacaan yang kita biarkan, tanpa kita sadari sudah merusak makna dan membuat niat tidak lagi ta'yin (akurat).
Awas Lahn !!
Niat letakkanya didalam hati. Melafalkan niat puasa tidaklah wajib, dengan demikian bagi beberapa orang, urusan ramadhani ramadhana juga tidak terlalu berpengaruh terhadap keabsahan puasa. Barangkali klaim seperti ini betul.
Hanya saja, bila anda memaksakan berniat dalam bahasa Arab, ya harus benar. Kalau tidak, maka anda masuk dalam lahn. Lahn adalah kekeliruan dalam penyampaian bahasa Arab. Termasuk didalamnya kesalahan dalam ilmu nahwu. Seperti merofa'kan maful bih dan menashabkan fail.
Banyak riwayat yang menceritakan, bahwa para sahabat nabi, juga ulama ulama sesudahnya sangat membenci lahn. Hal ini karena lahn bisa merusak makna, dan bila dibiarkan akan menjadi "salah kaprah", kesalahan yang dianggap benar.
Generasi salaf yang mulia, mengharuskan istighfar untuk perbuatan lahn. Bahkan mereka memukul anak anak mereka bila berbuat lahn. Diriwayatkan oleh Khatib al Baghdadi, bahwasanya sahabat Ali r.a, Ibnu Umar r.a, dan Ibnu Abbas r.a, telah memukul anak anak mereka karena lahn.
Bahkan lahn dalam hadis, dianggap sebagai dusta atas Rasulullah SAW, karena Rasulullah tidak pernah lahn.
Membaca ramadhana (nun difathahkan) pada niat puasa Ramadhan, adalah termasuk kategori lahn (salah). Kesalahan yang terlanjur menyebar karena dipopulerkan oleh banyak pihak termasuk televisi televisi, para penyanyi, bahkan buku kegiatan ramadhan anak anak sekolah.
Sekedar Tambahan Penjelasan
Wallahu A'lam wa ilmuhu atamm walaa a'lamu illa ma 'allam.
Mudah mudahan ada manfaatnya. Terima Kasih.
Artikal Masalah Niat Puasa (bagian 1) : Mengenai Ramadhana atau Ramadhani, update oleh Subhan Hidayat pada Ramadhan 2017
Masalah Niat Puasa (Bag 1) : Ramadhana Atau Ramadhani
Reviewed by subhan
on
12.04.00
Rating: 5