Ilmu Kalam Setelah Mihnah



Peristiwa setelah mihnah Muktazilah


Pada tahun 234 Hijriyah Khalifah al-Mutawakkil mengumumkan pembatalan mazhab Mu'tazilah dan mengancam siapapun yang mencoba membangkitkan kembali persoalan persoalan semisal penciptaan Alquran, dan ajaran ajaran yang terkait Mu'tazilah lainnya.

Yang mendorong al Makmun berbuat demikian adalah karena dia melihat kekuatan pandangan masyarakat umum yang menentang Mu'tazilah, Juga karena adanya kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh negara akibat persoalan ini. Al Mutawakkil ingin melegakan dirinya dan pemerintahannya, dengan melepaskan diri dari masalah mu'tazilah ini.

Sebab itu, al Mutawakkil tidaklah berdiri ditempat yang netral. Dia memperlihatkan kecondongannya kepada ahli hadis dan berdiri di pihak mereka.

Al Mutawakkil mengundang para ahli hadis dan ulama ke kota Samura. Ia melimpahkan hadiah hadiah dan memuliakan mereka, serta mengizinkan mereka untuk meriwayatkan hadis-hadis mengenai sifat-sifat Allah dan mengenai ru'yah saidah (melihat Allah di akhirat).

Dengan sikap al Mutawakkil yang seperti itu, para ahli hadis menemukan kembali angin kebebasannya. Mereka bebas meriwayatkan hadis. Abu Bakar Bin Abi Syaibah diizinkan mengadakan sebuah majelis di Masjid Jami Rosofah yang dihadiri oleh 30 ribu jamaah. Begitupula adiknya, diizinkan mengadakan majelis di Masjid Jami Al Mansur yang dihadiri oleh kurang lebih 30 ribu jamaah.

Maka doa-doa buat al-Mutawakkil pun mengalir berlimpah-limpah. Mereka secara berlebihan memuji dan menyanjung Al Mutawakkil. 

Kemudian Al Mutawakil memerintahkan kepada wakil pemerintahan di Mesir untuk memecat hakim agung Mesir yaitu Abu Bakar Muhammad bin Abdul Aziz karena dia bertanggung jawab dalam penyiksaan para ulama dalam peristiwa mihnah. Al Mutawakkil juga memerintahkan hakim Abu Bakar untuk dipukuli dan diarak di atas keledai.  Perintah itu pun dijalankan oleh aparatnya. 

Al-Mas'udi mensifatkan al-Mutawakkil, katanya : 

Ketika khilafah beralih kepada al-Mutawakkil dia memerintah untuk meninggalkan penalaran dan tukar pikiran (perdebatan) serta semua yang dahulu dilakukan di zaman Al Mu'tashim dan Al Watsiq. Dia juga memerintahkan rakyatnya untuk bertakwa dan pasrah (tawakkal). Ia mengizinkan para ahli hadis untuk ber-hadis. 

Al Mutawakkil dipuji-puji oleh penganut ahlussunnah wal jama'ah. Mereka memintakan ampunan untuknya, hanya karena dia telah berjasa membatalkan mihnah. Banyak ahli hadits mengaku telah bermimpi bahwa Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah mengampuni al-Mutawakkil.

Dan akhirnya, muncullah dampak dari runtuhnya Muktazilah tersebut, dengan berlakunya  pembalasan keras kepada pengikut Muktazilah, dari orang orang yang dahulu merasakan mihnah. Para ahli hadits telah memperoleh kemenangan luar biasa. Mereka mulai menghukum pengikut mu'tazilah dengan tangan dan ilmu mereka.

Mereka men-jarh (menilai buruk ) kepada mereka-mereka yang pernah ikut dan mengakui ajaran Muktazilah dengan tajrih yang sangat buruk, yang menyebabkan riwayat riwayatnya ditolak.  Bahkan mereka juga men-jarh seorang yang pernah kena minah, tetapi tidak bertahan dengan pendiriannya sehingga mengakuinya. 

Ahmad bin Hambali, Imam para ahli hadits juga mulai buka suara. Beliau pernah ditanya, apabila ada dua orang berkumpul, yang satu pernah kena mihnah dan yang lain belum lalu keduanya menghadiri salat manakah yang harus di persilahkan menjadi imam ? beliau menjawab : Yang menjadi imam sholat adalah yang belum pernah kena mihnah".

Beliau juga pernah ditanya, mengenai orang yang mengakui bahwa al Quran adalah makhluk. Maka beliau menjawab : "orang itu jangan diajak bicara, jangan diajak salat, dan jangan salat di belakangnya. Bila seseorang terlanjur salat di belakangnya hendaklah dia mengulangi shalatnya".

Al-Asy'ats bin Qais bertemu Jarir disebuah persemayaman jenazah maka Al Asy'ats mempersilahkan Jarir untuk maju memimpin salat jenazah, tetapi Jarir menolak. Katanya aku sungguh pernah "murtad" (yang dia maksud adalah, ia merasa pernah menjadi Muktazilah dengan mengakui ke makhluk an Alquran).

Sampai juga ke telinga Ahmad bin Hambal, bahwa al-Qawariri pernah mengirimkan salam kepada Ibnu Riyah (tokoh Muktazilah). Maka ketika al-Qawariri hendak mengunjungi Ahmad bin Hambal, beliau berkata: "apakah tidak cukup sambutan ku selama ini sehingga kau berkirim salam kepada Ibnu Riyah ?"  lalu Ahmad bin Hambal membanting pintu di hadapannya.

Suatu hari beliau di kunjungi al Khazami, (sementara itu telah sampai kepada beliau bahwa al-Khazami pernah berkunjung pada Ahmad Ibnu Abi Du'ad, seorang hakim Muktazilah), maka Ahmad bin Hambal mengusirnya dan menutup pintu. Beliau juga melarang para saksi untuk bersaksi di hadapan "hakim Jahmy" ( maksudnya hakim bermadzhab Muktazilah) walau hakim itu memohon kepadanya.

Pengaruh ahli hadits makin kuat di bawah pimpinan para pengikut mazhab Hambali. Pengaruh mereka kian kuat sehingga mereka bagaikan negara dalam negara.

Mereka menceritakan bahwa Muhammad bin Jarir At-Thobari, seorang ahli Tafsir yang terkenal itu. menulis sebuah buku tentang biogragi para fuqoha tetapi di dalamnya tidak mencantumkan nama Ahmad bin hambal. Maka beliau ditanya tentang hal itu, jawabnya : "Ahmad bukan seorang ahli fiqih. Beliau ahli hadis". Jawabannya itu membuat marah para pengikut Ahmad bin Hambal. Mereka menuduh Ibnu Jarir sebagai Rafidhy (Syiah). 

Akibatnya mereka melarang orang untuk masuk dan menghadiri majelis At Thabary. Ketika At-Thabary tidak mau meninggalkan rumahnya mereka melempari rumahnya sampai tertimbun batu.  Peristiwa itu membuat kepala Polisi setempat bersama ribuan anak buahnya datang untuk mencegah massa dan memunguti batu.

Di terjemahkan secara bebas dari buku Akidah Akhlaq XII MAK (Kementrian Agama RI).

Tidak ada komentar:

Formulir Kontak



Arsip Blog

Find Us On Facebook

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.