Cari Artikel

Jamal Wain Thoor..!!

 on Sabtu, 30 Juli 2016  


Sekedar Catatan Kang Subhan

Dalam sebuah kegiatan kerja bakti di lingkungan, saya berbincang bincang dengan salah seorang tetangga yang kebetulan berprofesi sebagai tukang bangunan. Sambil sama sama meratakan puing, dia menyampaikan pendapatnya, bahwa kaca itu terbuat dari air yang diberi obat pengeras.

Dengan sikap hormat, saya sanggah teorinya. Sanes ngoten pak (wah yaa gak begitu pak...). Sambil tetap mempertahankan suasana akrab, saya katakan :  kaca itu dibuat dari pasir kwarsa atau pasir silika pak de...bukan dibuat dari air.

Rupanya dia tidak terima... si pak de ini bersikeras kalau kaca dibuat dari air. Saya akhirnya browsing melalui smartphone. Saya mencarikan untuknya artikel tentang cara membuat kaca. Saya tunjukkan kepadanya : ni pakde...cara membuat kaca. Dia membaca sebentar. Kemudian dia menanggapi, dan tanggapannya sungguh diluar dugaan saya. Katanya : ..."kaca memang bisa dibuat dari pasir, tetapi kaca yang dibuat dari air lebih bagus, lebih bening dan lebih kuat....". Dia mencoba membuat perbandingan dengan proses pembuatan beton. Beton yang dibuat dari semen murni dengan diberi obat pengeras hasilnya akan lebih bagus dan lebih kuat, katanya. 

Sayapun terdiam (????)

Itu Onta Walaupun Dia Terbang


Mengapa tetangga saya itu sedemikian ngeyel mempertahankan keyakinannya..? Salah satu alasannya - saya rasa - adalah karena dia merasa lebih tahu dan lebih menguasai segala hal yang terkait dengan bangunan, sementara lawan diskusinya, yaitu saya, hanyalah seorang guru madrasah yang disuruh pegang kuas cat saja tidak becus. Mungkin lain halnya bila yang diajak diskusi adalah sesama tukang bangunan, atau karyawan pabrik kaca.

Saya jadi teringat dengan penjelasan Buya Yahya tentang sebuah ungkapan berbahasa Arab : jamal wain thooro (itu onta, walaupun dia terbang). Ungkapan ini untuk orang yang suka ngeyel. Ada sebuah kisah tentang dua orang Arab yang melihat sosok makhluq dari kejauhan. Sosok itu seperti onta, juga seperti burung. Sosok yang samar samar itu membuat mereka berdua berdebat. Yang satu berkata : " itu burung"  sementara yang satu lagi berkata : " itu onta". Keduanya terlibat perdebatan sengit mengenai burung atau onta.

Kemudian keduanya sepakat untuk melihatnya lebih dekat. Setelah mendekat, makin jelaslah sosok makhluq itu. Tubuhnya lebih kecil dari onta.
Maka yang satu berkata : " tuh kaan...itu burung".
Yang satu lagi berkata    : "itu onta". 

Keduanya lagi lagi bersepakat untuk lebih mendekat. Terlihatlah sosok itu berbulu, bersayap dan berkaki dua. Maka dengan mantap yang satu berkata : " benarkan itu burung..." . Namun tanpa diduga ternyata temannya berkata : " tidak... itu onta...!!

Akhirnya keduanya sepakat untuk menghalau binatang itu. Binatang itu kaget, lalu terbang ke udara. Maka dengan perasaan lega, yang satu berkata : " itu burung...dia terbang..." .
Ternyata jawaban temannya masih ngeyel : ...itu onta...walaupun dia terbang..!! (jamal wa in thoor ). 

Tidak Cukup Walaupun Diberi Seribu Dalil


Ada sebuah kaidah :

يُدْرِكُ الذَّكِيُّ بِنَظِيْرٍ وَاحِدٍ ماَ لاَ يُدْرِكُهُ الْغَبِيُّ بأَِلْفِ شَاهِدٍ 
Orang cerdas bisa memahami masalah dengan hanya satu dalil, sementara orang bodoh tidak bisa memahaminya walaupun diberi 1000 dalil.

Dalam ranah agama, kita sering menjumpai orang orang yang sulit menerima adanya perbedaan pendapat. Baginya pendapatnya adalah yang paling benar, paling nyunnah dan paling sesuai dengan amaliah salafus sholih. Dia tidak bisa menerima pendapat orang lain yang berbeda, meskipun pijakan orang lain itu juga benar, sesuai sunnah dan sesuai dengan amaliah salafus sholih. Tidak ada dalil yang bisa memuaskannya. Diberi dalil al-Qur'an minta tafsirnya. Sudah dibacakan tafsirnya minta hadis sohih. Diberi hadis sohih minta Al-Qur' an lagi dan seterusnya. Pokoknya elu salah.

Menghargai Perbedaan Pendapat


Perbedaan pendapat atau khilafiyah dalam masalah agama, adalah sebuah konsekwensi logis dari adanya ijtihad dimana para ulama berusaha keras untuk menggali hukum dan pemahaman dari kandungan nash Al-Qur'an dan As-Sunnah. Adakalanya hasil ijtihad itu berbeda beda antara ulama satu dengan lainnya meskipun dalil yang digunakan sama. Apalagi bila dalil yang dipegangi berbeda. 

Meski demikian, para ulama besar yang merupakan generasi salafus solih terdahulu, tidak pernah menyalahkan pendapat orang lain. Mereka memang menganggap hasil ijtihad mereka benar, tapi tetap ada kemungkinan salah. Sebuah kaidah ushul yang sering dikaitkan sebagai ucapan Imam Syafii: 
رَأْيِي صَوَابٌ يَحْتَمِلُ الْخَطَأَ وَرَأْيُ غَيْرِي خَطَأ يَحْتَمِلُ الصَّوَاب

pendapatku benar, tetapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat orang lain salah tetapi ada kemungkinan benar

Maka bila ada pihak pihak yang suka menyalahkan amaliah orang lain yang masih dalam koridor "khilafiyah" apalagi sampai memberi cap syirik atau bid'ah, maka orang itu sebenarnya jauh dari etika generasi salaf.  Bahkan bisa jadi dia termasuk dalam sabda nabi :  
ٌسِباَبُ الْمُسْلِمِ فُسُوْق وَقِتاَلُهُ كُفْر
Mencaci maki sesama muslim adalah fasiq dan memeranginya adalah kufur

Bila memang jelas jelas syirik dan bid'ah, mari kita berantas bersama sama. Tetapi bila orang lain itu masih memiliki pegangan (meskipun pegangannya adalah hadis doif), maka kita tidak boleh terburu buru menyalahkan. 

Mengenai beramal dengan hadis doif, ilmu hadis telah memiliki batas batas dan syarat syaratnya. 

Terima kasih, mudah mudahan bermanfaat.
Jamal Wain Thoor..!! 4.5 5 subhan Sabtu, 30 Juli 2016 Sekedar Catatan Kang Subhan Dalam sebuah kegiatan kerja bakti di lingkungan, saya berbincang bincang dengan salah seorang tetangga ...


Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Find Us On Facebook

Flickr Images

Video Of Day

Pages

Formulir Kontak